Remah Remeh

Remah-Remah Kata yang Remeh

Remah Remeh

Cerita

Secangkir Puisi

Buku dan Film

Halo, kali ini saya kembali lagi dengan membawa review novel lainnya. Pada bulan Februari kemarin, buku yang berhasil saya tamatkan hanya 15 buku saja. Hampir setengahnya dari jumlah yang saya baca ketika bulan Januari. Hiks ... Novel hadiah dari Pimred Batik Publisher ini salah satunya yang berhasil saya tamatkan di bulan Februari.

Judul: Malaikat Penghukum (Death Angel)

Penulis: Linda Howard
No. ISBN: 9789792290424
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012
Jumlah Halaman: 440, 18 cm

Nah, inilah penampakkan sampul depannya.



Sedangkan sampul belakangnya terdapat blurb seperti ini:

Drea Rousseau hanyalah wanita pirang bodoh yang tertarik pada permata dan lelaki berbahaya. Benarkah? Setelah Rafael Salinas “meminjamkan” dirinya kepada seorang pembunuh bayaran, Drea memutuskan untuk membalas sang penyelundup narkotika itu. Drea mencuri uang dua juta dolar milik pria itu dan melarikan diri. Salinas mengamuk, dan mengirim sang pembunuh bayaran untuk memburu wanita itu. Perburuan itu berakhir dengan kecelakaan tragis yang menewaskan Drea.

Drea mengalami keajaiban. Ia diberi kesempatan kedua dan dikirim kembali ke dunia nyata. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Drea mengubah hidupnya, dan memutuskan bekerja sama dengan FBI, untuk menjatuhkan Rafael Salinas, sang penyelundup narkotika . Tanpa terduga, Drea juga menjalin hubungan dengan pria paling berbahaya yang pernah ia temui. Namun, saat perasaan di antara mereka semakin kuat, Drea menyadari mereka juga semakin dekat dengan bahaya. Drea menyadari, bahwa harga untuk kehidupan barunya ini adalah nyawanya—dan juga hatinya.

Jujur, saya mengalami sedikit kesulitan ketika memutuskan akan mengulas tentang novel ini. Bukan karena bukunya tidak bagus, tetapi karena ceritanya berbeda dibandingkan buku-buku Linda yang lain yang pernah saya baca.
Buku ini tidak semanis kisah Reese Duncan di Pengantin Pilihan Reese Duncan (Duncan's Bride, terjemahan diterbitkan GPU, 2020). Juga tidak segelap karya Linda yang lain berjudul “Tiada Tangis Lagi” (Cry No More; terjemahannya diterbitkan GPU, 2010). Mungkin ekspektasi ini karena saya membandingkan warna sampulnya, ya. Dibandingkan sampul kedua buku lainnya, (“Tiada Tangis Lagi” dan "Pengantin Pilihan Reese Duncan" yang berwarna cerah), novel “Malaikat Penghukum” jelas bernuansa jauh lebih gelap, dominan warna hitam dengan sedikit nuansa kuning. Memang, Malaikat Penghukum ini bisa digolongkan kisah dark romance. Jadi, saya rasa, cocoklah dengan sampulnya.
Drea sosok yang pintar. Dia tahu kalau Rafael Salinas adalah sosok berbahaya yang tidak segan-segan nemakai jasa pembunuh bayaran untuk membinasakan musuh-musuhnya. Namun, ketika si pembunuh bayaran meminta Drea sebagai imbal balik jasanya kepada Rafael, dunia Drea jungkir balik. Setelah menghabiskan waktu berhubungan badan dengan pembunuh bayaran yang misterius itu, Drea tidak lagi tertarik melayani Rafael, walau sekadar untuk pura-pura. Dia lalu mencuri uang sebesar dua juta dollar dari laki-laki itu dan kabur. Rafael yang murka pun mengutus si pembunuh misterius untuk membunuh Drea.

Adegan kucing-kucingan antara pembunuh bayaran dan Drea digambarkan dengan detail oleh penulis, membuat saya ikut-ikutan merasa tegang. Apalagi ketika akhirnya Drea mengalami kecelakaan tragis yang membunuhnya. Menyaksikan sendiri kecelakaan dan kematian Drea, si pembunuh bayaran pun melapor kepada Rafael.

Sampai di sini, saya merasa agak bersimpati pada Rafael. Bayangkan saja, dia yang baru menyadari cintanya pada Drea. Sudah mah ditinggalkan saat lagi sayang-sayangnya, eh ditipu pula. Duh, sudah jatuh tertimpa tangga teh cucok banget untuk menggambarkan kondisi Rafael. Apakah dia berhasil mengatasi rasa sakit hati dan kehilangannya? Apakah dia tidak patah hati sedikit pun setelah mendapat kabar kalau Drea kecelakaan dan meninggal? Jawaban pertanyaan saya ini, sayangnya, hanya sekilas diceritakan oleh Linda. Secaraaa, menurut cerita tersebut, Rafael tuh tidak pernah merasakan cinta seperti terhadap Drea.

Adegan selanjutnya mengandung unsur spiritual yang hampir terkesan dipaksakan. Pendeknya, setelah dinyatakan meninggal, Drea hidup kembali. Dia bahkan jadi punya kemampuan meramal masa depan. (Membaca bagian ini, rasanya saya ingin memutar bola mata sambil bilang, “Oooke .... jadi ingat cerita apa, ya?”)
Namun, ketika mengetahui Drea ternyata tidak jadi meninggal, diam-diam si pembunuh kembali untuk mengawasinya. Penasaran apakah yang akan dilakukan si pembunuh terhadap Drea? Akankah Drea berhasil bertahan hidup? Lalu bagaimana nasib Rafael selanjutnya?

Buku ini membuat saya melongo bahkan sejak bab pertama. Ketika tensi cerita semakin naik, adrenalin saya pun ikut terpacu. Kecuali pas adegan setelah Drea dinyatakan meninggal itu, saya lumayan menikmati cerita ini.

Oh iya, harap menjadi pembaca bijak. Buku ini mengandung kekerasan, hubungan seksual, dan kata-kata kasar, sehingga termasuk bacaan dewasa (21+).

 

TANPANYA: MATI

Fiane N. Setiady

 

 

I

!  IN  IN !

! INDONESIA  !

!  INDONESIA INDONESIA  !

!  INDONESIA   IN   INDONESIA  !

  !  UDARA   TANAH   RUMAH    AIR    CAHAYA  !

INDONESIA    RUMAH!     INDONESIA

INDONESIA    RUMAH!    INDONESIA

UDARA TANAH          CAHAYA     AIR

UDARA TANAH          CAHAYA      AIR

RUMAH RUMAH          RUMAH RUMAH

INDONESIA   RUMAH!    INDONESIA!!

 

Depok, 19 Januari 2020


Lagi-lagi, tugas dari Wilwatikta. Tanpanya, puisi kontemporer di luar jangkauanku.

𝘒𝘦𝘫𝘰𝘳𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘳𝘪, 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶. 𝘛𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘣𝘪𝘳𝘶 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘣𝘶. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘵𝘢𝘮 𝘢𝘴𝘺𝘪𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘨𝘶. 𝘒𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘴𝘢𝘵𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶. 𝘛𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘺𝘪 𝘫𝘢𝘭𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘤𝘢𝘶. 𝘛𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘮𝘶, 𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘬𝘶𝘵𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 '𝘵𝘶𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘶.

𝘈𝘬𝘢𝘳 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘦𝘬𝘢𝘶, 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶. 𝘛𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘣𝘶𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘶, 𝘵𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘳𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘴𝘶. 𝘓𝘪𝘭𝘪𝘯 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶, 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘬𝘢 𝘵𝘢𝘣𝘪𝘳 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘢𝘳𝘶. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘬𝘦𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶.
𝘞𝘢𝘩𝘢𝘪, 𝘬𝘦𝘫𝘰𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵; 𝘢𝘬𝘢𝘳 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘮𝘪, 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘣𝘢𝘥𝘪. 𝘒𝘢𝘶 𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶𝘢𝘯 𝘪𝘭𝘢𝘩𝘪. 𝘗𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘭𝘶𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪.
𝘋𝘦𝘱𝘰𝘬, 18 𝘑𝘢𝘯𝘶𝘢𝘳𝘪 2021

***

Dua paragraf pertama puisi ini kubuat sebagai tugas menulis puisi prosais dengan gaya bahasa metafora di Wilwatikta. Namun, akhirnya aku sunting dengan menambahkan satu bait lagi sebagai penutup.

Rela Menjadi Iblis untuk Melindungi Anaknya

(Review Novel "Holy Mother" - Akiyoshi Rikako)

Review_Novel_Holy_Mother_Akiyoshi_Rikako

Data Buku:

Judul                 : Holy Mother

Penulis              : Akiyoshi Rikako

Penerjemah       : Andry Setiawan

Penerbit, tahun  : Haru, 2016


Banyak orang yang beranggapan bahwa seorang wanita baru disebut sempurna apabila telah menjadi ibu. Namun, tidak semua orang dengan mudah memiliki anugrah ini. Didiagnosa menderita sindrom ovarium polikistik (PCOS), Honami mengalami kesulitan memiliki anak. Dia berkali-kali keguguran. Dia pun harus menjalani prosedur kedokteran yang panjang, melelahkan, bahkan menyakitkan. Setelah perjuangan panjang, dia akhirnya berhasil melahirkan seorang putri. 

Di kota Aiide, tempat Honami tinggal, ditemukan mayat korban pembunuhan yang sangat brutal dan tidak berperikemanusiaan. Tak hanya dibunuh, jasad korban yang masih TK juga diperkosa lalu dibuang dalam kardus di bawah jembatan. Tentu saja, hal tersebut membuat Honami begitu cemas dan ketakutan. Dia pun bersumpah untuk melindungi anaknya, bahkan kalau perlu sampai mengorbankan dirinya.

Anak ini, putrinya, harus dia lindungi. Demi itu, dia rela melakukan apa pun. Seorang ibu yang melindungi anaknya akan mengerahkan seluruh kekuatannya. Aku tidak akan membiarkan kasus ini memporakporandakan keluargaku. Dia akan mengawasi putrinya dengan ketat, dan meyakinkan keamanannya.

Karena dia anak mukjizatku. (hal. 18)

Novel ini benar-benar berhasil menunjukkan kasih sayang ibu tak terbatas, hampir buta. Sosok istimewa yang diberikan Tuhan ini sampai rela jungkir balik berjuang sampai mengorbankan nyawa. Bahkan mungkin juga berubah menjadi iblis untuk melindungi putrinya. 

Di sini juga ada....

... seorang ibu yang rela menjadi iblis untuk melindungi putrinya. (hlm. 275) 

Pemilihan sudut pandang orang ketiga dengan sukses menyeret saya dalam dunia tokoh-tokohnya. Selain Honami yang menjadi "kamera", ada detektif polisi Sakaguchi dan Tanizaki, serta seorang murid SMA bernama Makoto. 

Biasanya novel-novel thriller atau misteri baru mengungkapkan sosok pembunuhnya di akhir cerita. Namun, Akiyoshi Rikako tidak. Di Holy Mother, beliau sudah membuka identitas pembunuhnya di bab awal. Bukannya bosan karena misteri sudah terbuka, justru sebaliknya. Cerita ini malah jadi semakin menarik untuk diikuti.

Memang sih, ada beberapa detail yang saya merasa cenderung lewah. Namun, ternyata info yang tampaknya berlebihan itulah yang menjadi benang merah cerita. Sehingga twist-nya masuk akal seperti potongan puzzle. Itulah cara Akiyoshi Rikako menjebak saya sehingga twist endingnya sukses. Ha-ha-ha... 

Setelah buku selesai dibaca, saya memang merasa tertipu. Apa yang saya tebak dan duga di awal ternyata meleset. Namun, ketika dibaca kembali sampai ke detail, akhirnya puzzle-nya cucok. Beuh! Saya tidak akan mengungkapkan spoiler di sini. Lebih baik teman-teman baca sendiri, deh, bukunya. Tidak akan menyesal, kok.

Bagi teman-teman penyuka cerita thriller dan twist ending, novel ini highly recommended untuk dibaca. 



Karya Enid Blyton ini pertama kali diterbitkan tahun 1953 dengan judul "Five Go Down to The Sea". Kemudian baru dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia tahun 1980 oleh Penerbit Gramedia. Nah, buku yang kubaca ulang ini cetakan ke-16 yang terbit bulan November 2015 lalu.

Lima Sekawan merupakan kisah petualangan empat orang anak (Julian, Dick, George, dan Anne) ditambah Timmy, seekor anjing. Dalam Lorong Pencoleng merupakan buku seri yang ke-12.

"Kali ini Lima Sekawan yakin di daerah pesisir Cornwall yang sepi dan tak akan ada petualangan. Tapi, ketika suatu malam mereka melihat sinar memancar dari sebuah menara tua, mereka jadi bertanya-tanya. Betulkah di zaman sekarang ini masih ada pencoleng yang merampok kapal-kapal yang lewat dengan menyalakan suar palsu? Akankah besok mereka menemukan kapal yang pecah berkeping-keping karena dijebak oleh para pencoleng itu?" Begitulah blurb yang tercetak di belakang bukunya.

Di Cornwall, Lima Sekawan menginap di Tremannon Farm, milik suami-istri Penruthlan. Mereka juga berkenalan dengan Yan dan kakeknya. Kakek Yan merupakan putra seorang pencoleng. Dari beliaulah, Julian cs mendengarkan cerita tentang para pencoleng yang menyalakan suar palsu sehingga menyesatkan kapal-kapal terdampar ke batu karang.

Walau awalnya hanya ingin berlibur, tetapi jiwa petualang Lima Sekawan tidak dapat dibendung ketika mendengar tentang Lorong Pencoleng. Namun, ternyata setelah menemukannya, Lima Sekawan malah dikurung. Siapa yang mengurung mereka dan ada rahasia apa di sana? Mending baca sendiri saja ceritanya. Bukunya tipis kok, hanya 248 halaman.

Walau ditujukan untuk pembaca usia anak dan remaja, aku masih menikmati baca bukunya, lo. Apakah itu artinya aku masih berjiwa remaja? LOL. Tapi memang sih, pertama kali baca ceritanya itu ketika aku masih SMP. Jadi, membaca ulang dengan tampilan sampul baru bisa dianggap nostalgia. Bagaimanapun, menurutku, Lima Sekawan merupakan salah satu seri yang melegenda.  


Lima_Sekawan_Dalam_Lorong_Pencoleng



 

Tawon-tawon di kepalaku pun diam, tak berdengung seperti biasanya. Sepi. Kupanggil geng rusuh, berharap bisa mengembalikan keributannya. Namun tawon-tawon itu tetap sembunyi, hanya mengintip malu bagai tuan putri.
"Kemarilah, jangan sembunyi!"

Kupanggil nama-nama kalian satu per satu. Senyap. Ternyata hanya ada aku sendiri.
Sunyi. Tak ada suara, aku bagaikan terpenjara di ruang hampa.
Ah, kalau saja benar ruang hampa itu ada. Adakah di sana waktu berjalan sama seperti di dunia nyata? Lalu bisakah tawon-tawon itu nanti kembali menggemakan dengungnya? Kesunyian ini terasa begitu mencekik jiwa. Apakah tawon-tawon itu memang sudah pergi? Kehilangan mulai terasa menggerogoti hati.

***
Jangan tanya ini tulisan apa. Karena aku akan menjawab, "Entahlah. Kaucari tahu saja sendiri."
Mungkin inilah yang disebut writer's block. Mata menatap tulisan, tapi otak rasanya tak tahu mesti mengerjakan apa. Padahal peer editan masih ada, outline yang belum digarap pun masih menunggu. Jadi, kenapa kata-kata itu seakan jauh untuk dijangkau? Mereka terasa sulit untuk dirangkai?
Tak penting! Ini tulisan apa. Anggap saja ocehan otak yang sedang kacau.

Kubayangkan kedua anak itu berjalan sembari berpegangan tangan, menikmati udara yang menggigit tulang. Mereka pasti akan mendapati hamparan hijau tertutup selimut putih. Tak akan tampak satu pun gedung pencakar langit yang menyesakkan mata, dengan dindingnya yang kokoh seakan berkuasa. Melegakan!

Di kaki Gunung Haruman, aku pun dulu pernah merasakan. Kaki-kaki kecil berlarian diapit benih-benih padi yang baru ditanam.


"Ayo, cepatlah!" teriaknya terdengar diantar desir angin.

"Tunggu! Jalanmu terlalu cepat." Aku balas berteriak sambil terus menelusuri jalan sempit di antara petak-petak sawah.

Sampai di dekatnya, aku pun berdiri diam memandang berkeliling. "Hah! Lihatlah!" Bahkan deru napas kami pun memiliki rasa di sini. Ada awan kecil keluar dari mulut yang terbuka.

Kekehan tawa menyusul perkataannya. "Dasar bocah! Begitu saja senang."

Mataku melotot tak suka. Setengah bercanda, aku memukul lengannya. "Hei! Kita ini seusia, hanya beda lima purnama."

"Ya...ya... Kau benar. Kita memang sama-sama bocah." Tawanya terdengar riang sebelum melanjutkan, "Marilah ke Ladang Bunga Liar di sebelah sana."

Aku dan dia sama-sama merentangkan tangan, menggerakkannya naik turun bagaikan sepasang sayap. Gelak tawa kami terdengar, menemani beberapa ekor kupu-kupu yang terbang berputar mengelilingi rumpun bunga liar. Seakan makhluk bersayap itu tak peduli sosok-sosok kecil yang ribut ikut meloncat dan menari ke sana kemari. Kami berlarian di antara ilalang, membayangkan sang bayu menerbangkan kami.

Di hari terakhir liburan sekolah, ladang bunga liar di kaki Gunung Haruman turut menyaksikan perpisahan dan janji kami.

"Aku suka. Mari bertemu lagi di sini liburan nanti," ucapnya, "janji!"

Aku mengangguk mengiyakan. "Janji. Aku pun akan kembali."


Ingatan janji masa lalu kembali terkenang. Saat aku menatap kedua gadis kecil yang kini berlarian di kaki Gunung Haruman.


Ah! Aku kembali bersama dua bocah beda generasi. Namun, ada di manakah kau, Kenangan?


Gadis_di_Gunung_Haruman
Jihan dan Bebby (Foto Dokumentasi Pribadi)

Garut, 21 Desember 2018

Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Seseorang yang masih mencoba mencari tahu rahasia hikmah dari perjalanan hidupnya. Karena pada memori, terdapat kisah yang bagus untuk diceritakan.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

Categories

  • About; Tentang saya 1
  • cerita fiksi 3
  • cerpen 1
  • fiksi 3
  • materi kepenulisan 1
  • penggunaan tanda baca 1
  • Perjalanan Hidup 4
  • Puisi 8
  • Rekomendasi Buku 5
  • Review 5
  • Review Buku 5
  • sajak 8
  • Secangkir puisi 8
  • sharing 1
  • tanda baca 1

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates