Kubayangkan kedua anak itu berjalan sembari berpegangan tangan, menikmati udara yang menggigit tulang. Mereka pasti akan mendapati hamparan hijau tertutup selimut putih. Tak akan tampak satu pun gedung pencakar langit yang menyesakkan mata, dengan dindingnya yang kokoh seakan berkuasa. Melegakan!
Di kaki Gunung Haruman, aku pun dulu pernah merasakan. Kaki-kaki kecil berlarian diapit benih-benih padi yang baru ditanam.
"Ayo, cepatlah!" teriaknya terdengar diantar desir angin.
"Tunggu! Jalanmu terlalu cepat." Aku balas berteriak sambil terus menelusuri jalan sempit di antara petak-petak sawah.
Sampai di dekatnya, aku pun berdiri diam memandang berkeliling. "Hah! Lihatlah!" Bahkan deru napas kami pun memiliki rasa di sini. Ada awan kecil keluar dari mulut yang terbuka.
Kekehan tawa menyusul perkataannya. "Dasar bocah! Begitu saja senang."
Mataku melotot tak suka. Setengah bercanda, aku memukul lengannya. "Hei! Kita ini seusia, hanya beda lima purnama."
"Ya...ya... Kau benar. Kita memang sama-sama bocah." Tawanya terdengar riang sebelum melanjutkan, "Marilah ke Ladang Bunga Liar di sebelah sana."
Aku dan dia sama-sama merentangkan tangan, menggerakkannya naik turun bagaikan sepasang sayap. Gelak tawa kami terdengar, menemani beberapa ekor kupu-kupu yang terbang berputar mengelilingi rumpun bunga liar. Seakan makhluk bersayap itu tak peduli sosok-sosok kecil yang ribut ikut meloncat dan menari ke sana kemari. Kami berlarian di antara ilalang, membayangkan sang bayu menerbangkan kami.
Di hari terakhir liburan sekolah, ladang bunga liar di kaki Gunung Haruman turut menyaksikan perpisahan dan janji kami.
"Aku suka. Mari bertemu lagi di sini liburan nanti," ucapnya, "janji!"
Aku mengangguk mengiyakan. "Janji. Aku pun akan kembali."
Ingatan janji masa lalu kembali terkenang. Saat aku menatap kedua gadis kecil yang kini berlarian di kaki Gunung Haruman.
Ah! Aku kembali bersama dua bocah beda generasi. Namun, ada di manakah kau, Kenangan?
Jihan dan Bebby (Foto Dokumentasi Pribadi)
Garut, 21 Desember 2018