Review Buku: Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam-Joo

 

Kim_Ji-Yeong_Lahir_Tahun_1982


Judul: Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982

Penulis: Cho Nam-Joo

Alih bahasa: Iingliana

Editor: Juliana Tan

Penyelaras aksara: Mery Riansyah

Ilustrator: Bella Ansori

Cetakan : 2019, 192 hlm; 20 cm

ISBN: 9786020636191

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

B l u r b :

Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.

Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.

Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.

Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.

Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.

Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis dan penindasan institusional yang relevan bagi kita semua.

***

    Buku yang tipis ini terbagi menjadi enam lini masa sesuai jalan hidup Kim Ji-yeong. Dibuka dengan masa musim gugur tahun 2015, ketika Kim Ji-yeong telah berumah tangga, menjadi seorang ibu, dan menunjukkan gejala depresi. Cerita lalu mundur menceritakan kisah hidup Ji-yeong sejak lahir hingga menjalani terapi tahun 2016.

    Tokoh Kim Ji-yeong diceritakan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya perempuan, sedangkan adiknya laki-laki. Bersama kakaknya, Ji-yeong kecil sudah merasakan perbedaan perlakuan antara anak perempuan dan laki-laki. Keduanya tidak diperlakukan "adil". Mereka dilarang memiliki barang seperti adik bungsu mereka. Mereka harus berbagi, sementara adik laki-laki memperoleh semua yang terbaik. Bukan hanya masalah kepemilikan barang-barang, Kim Ji-yeong dan kakaknya pun mengalami perbedaan sikap ketika makan keluarga. 
Yang selalu mengambil nasi lebih dulu adalah Ayah, lalu adik laki-laki, lalu Nenek.  (hal.23)
    Ternyata, semakin dewasa, kehidupan Kim Ji-yeong tidak terlalu banyak berubah. Dia bersekolah, kuliah, berpacaran, bekerja, menikah, lalu punya anak. Perlakuan berbeda terjadi dan dialami hanya karena dia bukan laki-laki. Di rumah, dia harus mengalah pada adik laki-lakinya. Di sekolah, anak perempuan baru boleh mengambil makan siang setelah anak laki-laki. Ketika terjadi pelecehan, perempuan yang justru disalahkan. Setelah menikah, Ji-yeong seperti banyak perempuan lain terpaksa berhenti bekerja, dicap sebagai orang yang hanya bisa menghabiskan uang suami, dan sebagainya.

    Sepanjang cerita, penulis menarasikan ketidakadilan yang tidak hanya dialami Kim Ji-yeong, tetapi juga semua wanita. Seakan melalui novel tersebut, penulis menyatakan bahwa menjadi seorang wanita hanya kutukan. Kim Ji-yeong menjalani lingkaran setan yang sama, seperti neneknya, ibunya, teman-teman wanitanya. Seberapa pun wanita berusaha, hasilnya tidak akan dihargai sebagaimana bila dia adalah laki-laki. 

    Para wanita tidak boleh bebas mengerjakan apa yang diinginkan, senantiasa diharapkan selalu berkorban demi kepentingan anak, suami, maupun saudara laki-laki mereka. Ibunya Kim Ji-yeong, Oh Mi-sook, bekerja keras membiayai tiga saudara laki-lakinya hingga menjadi dokter, polisi, dan guru. Nenek Ji-yeong, Go Sun-bun, bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi suami dan keempat anaknya, sementara kakeknya Ji-yeong sama sekali tidak memiliki tekad apa pun untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Kim Ji-yeong merupakan karyawan berprestasi, tetapi yang akhirnya dipromosikan justru karyawan laki-laki. 

    Apakah Kim Ji-Yeong tidak "melakukan" sesuatu, melawan keadaan? Ternyata tidak. Kim Ji-yeong hanya mempertanyakan saja ketidakadilan yang dirasakannya, memendam perasaan dalam hatinya, lalu memilih diam. Kadang gemas juga membacanya, kok diam terus sih? Spoke up! Memang kenyataan yang terjadi di lapangan seperti itu. 

    Banyak wanita memilih untuk diam, bahkan saya pun akan mengakui kalau terlalu sering diperlakukan tidak adil, ujung-ujungnya lebih memilih diam saja daripada melawan lalu menimbulkan konflik dan pertengkaran. 

    Jadi, kalau mengharapkan bacaan tokoh wanita yang kuat dan mampu mendobrak tradisi, maka ini bukan bacaan yang cocok. Namun, apabila mencari bacaan yang realistis dan jujur, buku ini highly recomended.

    Cho Nam-Joo, sang penulis, menuturkan kisah hampir sepanjang cerita secara narasi. Hanya sedikit deskripsi dan dialog di novel ini, walaupun demikian, rasanya langsung jleb! Menusuk hati dan berhasil mengacak-acak pikiran. 

Coba simak paragraf penutup dari buku ini, yang menurut saya maknanya dalam banget.

"Tidak ada yang bisa berbicara mewakili kita untuk selama-selamanya, apakah Kim Ji-yeong mampu menemukan kembali suaranya yang hilang? Itulah pertanyaan yang terbersit dalam benakku setelah membaca novel ini. Jelas sekali solusinya tidak akan ditemukan oleh Kim Ji-yeong sendiri. Para pembaca buku ini harus bersama-sama mencari jawabannya. Karena kita semua adalah Kim Ji-yeong." (hlm. 190)

    Setelah selesai membacanya, saya sangat beruntung hidup, lahir, dan tumbuh besar di Indonesia. Walau menganut budaya patriarki, tetapi rasanya tidak separah yang dialami Kim Ji-Yeong di Korea Selatan sana. 

0 Comments