Oasis Kala Senja


Ketika Gem bilang akan mengajak ke oasis untuk kencan kami, aku setengah mengejeknya. Oasis itu hanya ada di padang pasir. Sedangkan, kota tempat kami tinggal begitu dipenuhi bangunan, tidak mungkin ada oasisnya. Pria itu jelas mengada-ada, barangkali taman alun-alun kota yang dia maksud. Namun, aku salah, Gem membawa ke bagian selatan kota yang belum pernah dikunjungi. 


Aku menghirup napas panjang, menghidu kesegaran aroma kayu dari pepohonan sekeliling danau. Pemandangan airnya berkilau keemasan disinari matahari senja yang membuat takjub. Danau itu tersembunyi, dikelilingi barisan bukit.  Kicauan aneka burung, entah burung jenis apa, terdengar di kejauhan. 


Kedamaian suasana di sini membuatku terpana, diam-diam mengakui kesesuaian nama yang disematkan Gem: oasis, walau bukan di padang pasir. 


Di sini, tempat sempurna untuk berdamai dan melupakan pertengkaran hebat kami sebelumnya. Aku yakin, mengajakku ke tempat indah ini, merupakan bukti dia telah memaafkanku. Sungguh khas Gem.


Gem menatapku sambil tersenyum simpul, tak lagi memakai jas. Pria itu melipat lengan kemeja sampai siku, memperlihatkan otot lengan bawah yang kecokelatan dan kencang. Tanpa menaikkan celana panjang hitamnya, dia melangkah masuk ke air danau. Tangannya terulur mengajakku ikut.


Air danau itu hangat, hampir sehangat genggaman Gem. Bergandengan, kami melangkah. Dengan semangat, Gem bercerita bagaimana dia menemukan tempat ini. Hingga air danau setinggi pahaku, dan membasahi ujung gaun krem bermotif bunga. Saat itulah, dia tiba-tiba menghentikan langkah dan terdiam, membuatku menengok ke arahnya. 


Gem sedang menatap lekat-lekat, membuatku tersipu. Ketika tatapannya jatuh ke bibir, aku menelan ludah. Jantung ini berdebar begitu kencang, hingga aku takut dia pun bisa mendengarnya. Untuk menenangkan diri, aku mulai memilin rambut yang tergerai di bahu kanan. 


Tangan Gem terulur menyentuh leherku, membelainya, dan berhasil membuat napas ini semakin memburu. Tak perlu berkata apa-apa, dia akan menciumku. 


Ya Tuhan, wajah Gem semakin mendekat. Alih-alih mencium, dia bergumam begitu lirih hingga yang tertangkap di telinga ini hanya tiga kata. 


Mataku membelalak tak percaya. Semua terjadi begitu cepat. Terdorong cekikannya, tubuhku jatuh ke air dengan tidak anggun. Tanganku memukul-mukul, mencoba membebaskan diri. Aku mulai mengap-mengap berusaha bernapas. Namun, bukannya udara segar, justru air danau yang terhirup masuk ke tenggorokan, membuatku ingin terbatuk. Akibatnya air danau semakin banyak tertelan.


Air mataku bercampur air danau. Tubuh ini semakin lunglai. Sebelum kegelapan datang, pengakuan bahwa mengkhianatinya adalah kesalahan. Bisikan Gem tadi kembali terngiang. Matilah-di-sini.

5 Comments

  1. Balasan
    1. Terima kasih, Mbak, sudah berkunjung. Tadinya aku mau A, eh, si Gem menolak. Akhirnya, kami sepakat cerita B yang jadi. 😁🙏

      Hapus
  2. Eh? Ada apa ini kok tidak dilanjutkan sampai tuntas. Hihihi..

    BalasHapus
  3. Eeeh, ujungnya kok malah gitu? Kupikir bakal melamar.

    BalasHapus